ArtikelParenting

Sharing Yusi Setiawan: Dari Anak Bermasalah Menjadi Anak Berprestasi

Sharing ini ditujukan bagi para orangtua yang merasa memiliki anak yang bermasalah, terutama yang masih balita, yang iri dengan adiknya, dan sering mengganggu temannya.

Saya ibu 2 orang anak cowok. Anak pertama saya Steven sekarang berusia 8 tahun lebih, duduk di kelas 3, sedangkan adiknya Kevin 7 tahun, duduk di kelas 2. Selisih umur mereka 1,5 tahun.

Saat ini kalau memandang Steven dan Kevin, saya bisa merasakan rasa sayang dan bangga. Tapi dulu tidak begitu. Masing-masing anak sempat mengalami fase sulit yang membuat saya nyaris putus asa.

Steven terlahir maju 17 hari dari jadwal karena ketuban pecah dini. Karena belum ada tanda-tanda lahir, akhirnya saya diinduksi. Sakitnya luar biasa. Untuk menghindari infeksi, Steven bayi diinjeksi antibiotik. Kemudian karena kuning, dia juga disinar. 2×24 jam penyinaran hanya mampu menurunkan sedikit kadar bilirubinnya. Akhirnya dia boleh pulang tapi masih harus minum obat dan dijemur setiap pagi.

Sejak bayi kecil, Steven sudah menunjukkan kalau dia bayi yang berwatak keras, susah diatur. Banyak sekali peristiwa yang membuat saya kewalahan. Sampai-sampai saya berpikir, “Kalau masih bayi kecil seperti ini aja sudah enggak bisa diatur, gimana nanti besarnya. Saya tidak boleh kalah dengan anak ini… “. Tapi ternyata sikap yang saya ambil salah. Semakin saya keras, tingkahnya semakin menjadi.

Pada umur 3 minggu, saat itu sekitar pukul 10 pagi, Steven sedang ditidurkan di ranjang. Tiba-tiba dia menangis keras sekali, tangisan melengking yang susah sekali dihentikan. Mukanya sampai merah, dia seperti sedang kesakitan. Saat itu saya belum punya pembantu, tapi untunglah ada mama yang langsung bergegas menolong, menggendong dan menenangkan Steven. Butuh waktu lama untuk membuat tangisan Steven berhenti. Akhirnya karena kecapekan dia tertidur.

Sorenya hal itu terulang lagi. Karena kuatir kami membawanya ke dokter. Ternyata dokter bilang Steven terkena kolik. Penyakit kolik diderita sejak bayi berumur 3 minggu dan akan sembuh sendiri saat bayi berumur 3 bulan. Begitulah sejak hari itu sampai Steven berusia 3 bulan kurang 1 minggu, setiap malam kami tidak dapat tidur nyenyak. Baru saja kami berhasil menidurkannya, 5 menit kemudian tangisan menyayat hati itu kembali terdengar. Kami harus kembali menggendongnya sambil berjalan hilir mudik menenangkannya.

Setelah kelelahan dia tertidur, karena tidak ingin dia terbangun lagi, seringkali kami biarkan Steven tidur di gendongan. Tak jarang saya atau mama tidur sambil duduk menggendong Steven, kadang meringkuk di sofa. Kalau tiba-tiba dia terbangun dan menangis lagi ya kami harus menenangkannya. Sungguh ini merupakan 2 bulan yang sangat menyiksa dalam hidup saya.

Selama 1 tahun pertama kehidupan Steven, kami sering sekali membawanya ke dokter. Bahkan karena tidak sabar dan ingin mencari pendapat lain, kami pernah gonta-ganti dokter. Steven kecil pernah mengalami diare, kolik, demam, alergi susu sapi, alergi susu soya, kulit kepala berkerak, pipi bengkak, seluruh tubuh merah-merah, bisulan, rewel, batuk pilek, infeksi perut, dsb.

Dulu sering Steven dirujuk ke laboratorium untuk periksa darah, akibatnya dia menjadi trauma terhadap jarum suntik. Apalagi saat bayi banyak jadwal imunisasi yang harus dijalani. Saking seringnya ke lab dan dokter, Steven berontak. Pertamanya, dia menolak masuk ke ruang periksa. Lambat laun pemberontakan di mulai dari depan rumah dokter. Begitu mobil berhenti di rumah dokter dia nangis berontak enggak mau turun. Ketiga, saat mobil belok di jalan menuju rumah dokter dia sudah menjerit-jerit nangis. Itu semua terjadi sebelum dia berusia 1 tahun. Ingatan yang sangat hebat untuk ukuran anak usia 1 tahun.

Untungnya dari sisi tumbuh kembang Steven tidak ada masalah, bahkan dia termasuk anak yang cerdas. Sejak kecil minat belajarnya tinggi. Perkembangan bahasa kurang baik, tapi dia mengerti perintah, bisa diajak komunikasi. Pada umur 2,5 tahun akhirnya dia bisa berbicara normal.

Permasalahannya pada perilaku dan sikapnya, sejak umur 7 bulan Steven menolak memakai sepatu, sandal, bahkan kaos kaki dan itu terjadi sampai dia berusia 2 tahun lebih.

Steven termasuk anak yang aktif, tidak bisa diam, banyak maunya, saat marah suka menangis menjerit-jerit. Perilaku Steven ini seringkali membuat saya kehilangan kesabaran. Steven kecil sering sekali saya cubit dan pukul karena saya kewalahan tidak mampu mengendalikannya. Tapi… cara saya yang salah ternyata membuat tingkah Steven semakin sulit diatur, akibatnya saya makin stress, Steven juga makin nakal.

Hufff… seperti lingkaran setan situasi saat itu. Makin nakal, makin dikerasin, makin menjadi.

Puncaknya saat Steven masuk playgroup. Saat itu dia berusia 2 tahun lebih. Kevin sudah lahir, berusia 9 bulan. Berbeda dengan Steven, Kevin bayi merupakan bayi yang anteng, tidak banyak tingkah. Tapi mungkin juga karena perbedaan yang mencolok ini tanpa kami sadari kami dan orang-orang sering membanding-bandingkan Steven dan Kevin. Hal itu membuat Steven kecil makin merasa tidak nyaman, tidak dicintai, dan menjadi iri dengan adiknya.

Hari pertama Steven masuk playgroup saya masih sempat mendampingi. Saat itu dia sudah terlihat tidak nyaman berada di kelas yang tertutup. Tapi karena di hari perkenalan itu dibagikan balon, perhatiannya masih bisa dialihkan. Meskipun ada pemberontakan tapi dia tidak menangis dan hari itu (5 out of 5 based on 356 reviews) Welcome to BubbLe defensive driving SchoolWhere nervous pupils are welcomed with open arms In July 2014, Charlotte R Amazing ! I was very nervous about driving and had very little confidence . bisa dilalui dengan baik.

Malamnya ayah mertua yang beberapa hari masuk rumah sakit mendadak meninggal dunia. Kami berduka cita dan sibuk mengurusi pemakaman. Steven masih tetap sekolah ditemani oleh pembantu. Sekitar 2 minggu kemudian setelah semua urusan beres, saya baru bisa mendampingi Steven sekolah lagi. Betapa terkejutnya saya karena ternyata Steven bermasalah. Ada orang tua yang melapor kalau anaknya diserang Steven, digigit tangannya, dsb.

Pagi sebelum kejadian penggigitan itu, kebetulan Steven mengganggu Kevin dan oleh neneknya dia ditegur. Kevin selamat dari gangguan Steven, tapi akibatnya dia mencari pelampiasan ke anak yang lebih kecil dari dia.

Hari itu saya mendampingi Steven masuk kelas dan saat istirahat masuk ke ruang bermain. Di ruang bermain itu ada castle dan rumah-rumahan. Steven tidak bisa bermain membaur dengan teman lainnya. Tingkahnya susah diatur. Saat dia melihat teman perempuannya yang cantik dan kecil mungil, tiba-tiba Steven menyerang temannya itu sampai leher anak itu merah. Para guru ada yang langsung mengendong anak itu, ada yang berusaha menenangkan Steven. Tak tahu bagaimana perasaan saya saat itu bercampur antara malu, marah, putus asa. Saya sampai sempat bertanya pada wali kelas Steven, bagaimana ini apa Steven masih boleh sekolah di sana…

Mungkin karena penanganan yang salah, semenjak kejadian itu tingkahnya semakin menjadi. Setiap kali mau berangkat sekolah menjadi masalah baru. Steven berontak tidak mau mandi, tidak mau berangkat sekolah. Kami berusaha membujuk, merayu, dan kerana tidak mempan akhirnya mengancam, memarahi, menghukumnya, dsb. Kalaupun kami berhasil mengantarnya ke sekolah, tetap saja kami harus menahan perasaan karena Steven tidak mau belajar, tidak mau baris, tidak mau masuk kelas, dsb. Semakin lama emosi saya makin meningkat.

Saya sempat konsultasi dengan kepala sekolah bagaimana sebaiknya menghadapi anak seperti Steven. Sebenarnya kepala sekolah play group saat itu sudah memberi nasehat yang bijaksana. Beliau bilang, “Biarkan saja dulu Bu, jangan dipaksa. Ajak aja Steven main-main ke sekolah, tidak usah pakai seragam. Pagi ajak jalan-jalan, mampir ke sekolah, biarkan dia adaptasi dulu. Kalau hari itu bukan hari dia sekolah pun tidak apa-apa (play group masuk 3 hari dalam seminggu). Dampingi saja, kalau dia tidak mau masuk kelas jangan dipaksa, ajak main-main dulu…”

Sayangnya nasehat yang bijaksana itu saya lakukan dengan setengah hati. Saya mengajaknya ke sekolah, mendampingi meskipun cuman melihatnya main mobil-mobilan. Kalau Steven sudah bosan ya sudah kami pulang. Tapi melihat kemajuan teman-temannya membuat saya tidak sabar. Dalam pikiran saya saat itu.”Kok enak, si Steven ! Harusnya anak salah ya dihukum biar dia tahu kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi khan.. ?“

Di rumah Steven saya intimidasi. Saya gemas, kalau seperti itu terus kapan pinternya… Saya lupa kalau saat itu Steven masih berusia 2 tahun lebih…

Kemudian terjadilah kejadian yang membuat saya berpikir…Sabtu pagi Steven sedang dihukum. Seisi rumah tidak boleh ada yang mengajaknya bermain dan bercakap-cakap. Saya berkata kepadanya,”Karena Steven enggak mau sekolah, ya sudah enggak ada yang mau sama Steven. Kalau Steven pinter, baru papa mama sayang sama Steven. Enggak boleh ada yang ngajak Steven main sampai Steven berjanji mau jadi anak pinter, mau sekolah.”

Steven kecil berusaha mencari perhatian tapi dilihatnya semua orang cuek. Saya dan papanya membaca koran di ruang tamu. Neneknya membaca koran di ruang keluarga, duduk di lantai sambil koran menutupi wajahnya. Pembantu duduk di sofa sambil menepuk-nepuk Kevin. Akhirnya Steven bilang minta susu. Pembantu membuatkan dan memberikannya tanpa mengucapkan sepatah kata.

Sambil membawa susu botolnya, Steven mencari tempat yang dirasanya enak untuk minum susu. Dilihatnya box bayi Kevin yang saat itu diletakkan di ruang keluarga. Dia naik ke sana. Box bayi itu lumayan tinggi. Dulu kami membelinya dengan pertimbangan biar bayi aman di dalam box, bahkan saat bayi belajar berdiri. Siapa sangka hal itu malah jadi bumerang saat anak kecil yang membawa botol susu berusaha naik sendiri. Steven kehilangan keseimbangan dan tiba-tiba terdengar gedebug yang sangat keras. Steven terbanting ke lantai dan kepalanya yang terlebih dahulu membentur lantai.

Setelah itu Steven bilang ngantuk dan pindah ke kamar untuk tidur. Tak lama kemudian dia muntah. Kami menjadi panik, kata orang kalau muntah berarti gegar otak. Steven kami bawa ke rumah sakit untuk dirontgen kepalanya.

Di rumah sakit Steven berontak, sehingga butuh beberapa orang untuk memeganginya. Waktu menunggu hasil foto, Steven muntah lagi beberapa kali. Ketakutan mulai melanda diri saya. Satu-satunya hal yang membuat saya bangga pada Steven saat itu adalah kecerdasannya. Saat itu ingatan Steven sempat hang saat saya ajukan beberapa pertanyaan. Banyak pertanyaan yang dulunya sudah dikuasainya dijawabnya dengan tidak tahu. Saya menjadi takut. Bagaimana kalau gara-gara jatuh itu terus Steven menjadi bodoh?

Saya merasa ditegur oleh Tuhan. Apakah begitu tak berharganya Steven sampai saya menyia-nyiakannya seperti itu. Apa saya rela kalau seandainya Tuhan mengambil Steven kembali?

Sebenarnya yang harus saya lakukan mencintainya dengan sepenuh hati, membantu dan mendampinginya agar bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya, bukannya terus-menerus memarahi dan membuatnya merasa tidak dicintai. Di rumah sakit itu saya berdoa, mohon ampun dan mohon diberi kesempatan lagi. Saya memohon kepada Tuhan agar Steven tetap bisa menjadi anak yang pandai dan mohon supaya kami bisa membesarkan dan mendidiknya dengan baik.

Singkat cerita dokter bilang tulang kepala Steven tidak ada yang retak, kami boleh pulang dan diberi obat minum. Meski awalnya terasa sulit, saya berusaha keras memenuhi janji saya. Mengubah sikap, tidak lagi marah-marah, berusaha instropeksi diri. Saya berusaha keras tidak memukuli dan mencubitinya lagi. Berusaha lebih dekat, lebih mengerti dia, mengajaknya mengobrol, bercerita,dsb. Semua itu butuh proses dan tidak terjadi secara instan. Tapi pelan tapi pasti semenjak saya berubah, sikap Steven pun berubah menjadi lebih baik.

Suatu hari saat jalan-jalan ke Gramedia, mata saya seolah terpaku pada buku “Ibu Dengarkan Aku” karangan Dra V. Dwijani. Buku itu masih terbungkus plastik sehingga saya tidak bisa membacanya di sana. Rasanya ada dorongan untuk membeli buku tipis yang berisi kumpulan curahan hati anak-anak pada ibu mereka. Ternyata benar buku itu berhasil membuat hati dan pikiran saya terbuka. Saya jadi tahu kalau jalan pikiran anak-anak seringkali berbeda dengan pemikiran orang dewasa.

Dalam perjalanan waktu, secara tak sengaja saya menemukan situs sekolahorangtua.com . Kembali saya belajar, ternyata menjadi orang tua yang baik perlu proses pembelajaran.

Semenjak kejadian itu, keadaan menjadi lebih baik. Hasilnya pun terlihat. Jika di play group A awal Steven sering dirasani orang tua lainnya karena kenakalannya, seiring berjalannya waktu orang mulai melupakan kejadian yang lalu dan memuji kepintarannya. Di play group B Steven berhasil meraih prestasi, menjadi The King (Juara 1 cowok dalam bidang akademis, perkembangan sikap, perilaku, dan aspek-aspek lainnya).

Di TK dia juga beberapa kali dapat piala karena hal yang berhubungan dengan akademis. Para guru bilang sikapnya baik. Di SD juga perkembangannya bagus. Guru-guru bilang Steven pinter, baik, tidak ada masalah, sikapnya dewasa, mandiri, dan kalimat pujian lainnya.

Saya bersyukur Tuhan memberi saya kesempatan untuk berubah. Sampai saat ini saya masih terus belajar. Saya belajar bahwa dalam hidup pasti ada permasalahan, yang terpenting adalah bagaimana sikap kita dalam menghadapinya. Sikap yang salah bisa membawa dampak yang buruk. Sebaliknya bila kita mampu memilih sikap yang benar, permasalahan yang tadinya terasa berat pun bisa terselesaikan dengan baik.

Saat ini bila melihat antara Steven dan Kevin mulai timbul perselisihan atau rasa iri, saya instropeksi diri. Seringkali hal itu imbas karena perlakuan orang tua yang dirasa tak adil bagi anak. Saat tangki cinta mereka penuh, mereka merasa disayang oleh orang tua dan diperlakukan adil, perilaku mereka pun menjadi baik.

Hasil instropeksi saya membuahkan hasil yang manis. Bila mereka berselisih, mereka segera minta maaf, langsung bersenda-gurau dan rukun lagi. Sebaliknya, saat tangki cinta mereka kosong, banyak sekali kejadian tidak menyenangkan yang terjadi. Begitu besar peran kita sebagai orang tua…

Mari kita belajar dari pengalaman orang lain agar mampu menyerap nilai-nilai yang baik dan tidak mengulang kesalahan. Semoga kita semua bisa mengajari anak tekun berjuang mencapai impian, menjadi orang tua yang baik dan memiliki anak yang dapat dibanggakan.

Nb: Instropeksi dan belajar terus menerus adalah kunci penting menjadi orangtua yang lebih baik lagi.

Related Articles

11 Comments

  1. Thanks atas sharingnya. Sebagai orangtua saya juga sering berlaku seperti itu. Tidak sabaran…menuntut yang berlebihan terhadap anak2. Kalau sudah “gemes” seringkali saya suka lupa diri dan main tangan. Terkadang saya baru sadar bahwa ternyata anak2lah harta karun terbesar saya. Memandangi mereka saat lelap dalam tidur seringkali membuat saya berpikir betapa kejamnya saya sebagai ibu. Sharing ini membuat saya untuk melakukan hal yang sama. GBU

  2. Thanks atas sharingnya. Sebagai orangtua saya juga sering berlaku seperti itu. Tidak sabaran…menuntut yang berlebihan terhadap anak2. Kalau sudah “gemes” seringkali saya suka lupa diri dan main tangan. Terkadang saya baru sadar bahwa ternyata anak2lah harta karun terbesar saya. Memandangi mereka saat lelap dalam tidur seringkali membuat saya berpikir betapa kejamnya saya sebagai ibu. Sharing ini membuat saya ingin melakukan hal yang sama. GBU

  3. Thanks moms atas sharing ?? berharga ini. Mata hati saya jadi terbuka karena saya juga sering menuntut anak untuk ini itu tapi kt sbg orangtua malah egois dan gak mau mendengarkan mrk. Smoga dengan adanya sharing ini saya juga dapat belajar lebih sabar dan berusaha untuk menjadi ibu yang baik seperti maminya steven. GBU

  4. thanks atas sharing nya yang sangat menginspirasi para ibu muda. saya ibu dari 2 anak (kembar) cewe dan cowo usia 2 tahun 3 bulan. saya juga sering membanding-bandingkan mereka kalau sedang kesal dengan salah satu anak saya dengan harapan mereka bisa meniru perbuatan baik saudara nya. sebenar nya saya sudah tahu tidak baik mambanding bandingkan seperti itu tapi kalau sedang menghadapi kenakalan anak saya suka lupa. setelah membaca sharing ini saya serasa di ingatkan kembali bahwa mereka masih kecil dan butuh bimbingan orang tua, kalau mau anak2 jadi baik, kita dulu sebagai orang tua yang harus banyak belajar untuk sabar dan mau mengerti mereka, sekali lagi thanks atas sharing nya. Gbu

  5. Sharing Bu Yusi Setiawan mengingatkan saya dgn anak saya yang pertama. Ceritanya hampir mirip dgn steven, dan perlakuan saya juga hampir mirip dgn ibu. Tapi alhamdulillah sy byk mendapatkan ilmu2 sebagai orang tua, walau tdk semudah itu menerapkan. tapi saya menyadari anak saya yg pertama mempunyai byk kelebihan dibanding teman2 sebayanya. Menurut saya anak pertama itu adalah guru saya terbaik untuk mengajari saya bagaimana menjadi orang tua yang baik.

  6. Pendidikan formal dimanapun tidak menyiapkan seseorang untuk dapat menjadi orang tua ketika mereka memutuskan untuk berkeluarga. oleh karena itu mereka harus senantiasa terbuka dan mau belajar dari berbagai hal termasuk belajar dari anak-anaknya. Semoga kita para orang tua dapat menghantarkan anak2 kita untuk menjadi generasi penerus keturunan kita yang benar-benar bisa menjaga dan menghargai hidup mereka kemudian dan senatiasa juga mohon penyertaan Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Baik.

  7. Saya sangat terbangun dengan pengalaman ibu. Saya memiliki 3 anak yg msh kecil2. Mereka sering berantam satu sama lain dan susah diatur. Saya sampai kewalahan kadang menghadapi mereka. Tapi 1 hal yg paling dibutuhkan adalah kesabaran kita. Bukan hanya sabar tapi harus panjang sabar. Pengalaman ibu mendorong saya untuk lebih sabar dan perlu lbh banyak belajar utk menghadapi anak. Tx ya bu. Gbu

  8. ini artikel yang benar2 membuat saya menitikkan airmata, masalahnya saya kenal orang tua yang tidak sadar,tidak mau introspeksi dan berubah
    maunya menang sendiri merasa ortu selalu benar ,anak yg harus nurut ortu seperti ajaran nenek moyang kita diperparah beliau orang yang sangat sibuk dalam bisnis sehingga hilang 1 hari bagaikan hilang 10 juta dengan dalih beliau bekerja demi keluarga dan anak2 juga
    sy sudah menyerah menasehati beliau

    saran apa yg bisa dilakukan untuk mengubah ortu tipe batu karang skala parah ini?

  9. Halo Sidhi yang peduli,

    Jika menyangkut orang lain maka berarti ini diluar kontrol kita. Jadi prinsipnya, bantulah semampu kita, jika tidak diterima atau ditolak maka itu adalah hak orang tersebut untuk menolaknya.

    Pertanyaan berikutnya : Anak tersebut adalah anak orang lain bukan ? Jadi kita tidak bertanggungjawab atas hidup anak tersebut.
    Lakukan yang bisa kita lakukan misalnya menjadi teman si anak. Memang efeknya tidak akan dahsyat jika orangtuanya yang berubah, namun setidaknya kita bisa meringankan beban si anak.

    Mengubah seseorang itu sulit jika tidak ada kesadaran dari dalam diri orang tersebut. Terkadang seseorang butuh jatuh atau sakit baru akhirnya bisa menyadari kekeliruannya.
    Jadi jika sudah saatnya untuk sadar, pasti orang itu akan belajar.

    Salam,
    Sandra Mungliandi

  10. alhamdulillah sy mnemukan artikel ini.
    . 3 jam yg lalu sy khilaf memukul anakku krn knakalannya,,,,,, sungguh air mata membanjiri pipiku krn penyesalan yg teramat dalam membayangkan jika dia yg jatuh dan gegar otak…… betapa kejamnya diriku memukul darah dagingku sendiri, pdhl walau nakal dan keras kepala dia selalu ingin dekat denganku memelukku. diumurnya yg bru 2,7 th aku merasakan betapa dia menyayangiku

    maafkam mma nak mama berjanji tak ak

  11. Halo pak..
    senang sekali menemukan dan bisa membaca ceria menarik terutama tentang steven.
    kebetulan ada beberapa hal yang hampir sama terjadi dg
    putri kami. Misalnya sejak usia 0-2 bln butuh kesabaran ekstra untuk merawatnya mulai mudah nangis, g mau tidur di kasur maunya digendong kalo malam dsb. bahkan hingga usia sekitar 1thun hingga kini usia 23bln puteri saya tdk mau memakai alas kaki entah sepatu,sandal dan semcamnya. intinyaa susah diatur. didandani g mau diajak komunikasi pun susah.. kemaunny jg keras.
    nah yg saya tanyakan bagaimana ceritany dl steven akhirnya mau pakai alas kaki. mungkin bs share cara yg benat dalam merespon tingkah si kecil yg spt itu..
    terima kasih sbelumnyaa.

Back to top button