What is The Greatest Power in Human Behaviour?
Sepasang suami istri duduk di ruangan saya dengan raut wajah yang tegang. Mereka telah menikah selama sembilan tahun dan hendak memutuskan untuk melakukan perceraian. Namun masih ada setetes embun di hati mereka yang membuat mereka menemui saya. “Jika tak mengingat dua anak yang menjadi tanggung jawab maka saya akan langsung putuskan untuk meninggalkan suami saya” demikian istrinya berkata pada saya.
“Sebenarnya adakah hal positif yang ada pada diri suami Anda?” tanya saya pada sang istri. ”Hmmm ….. ya sebenarnya dia itu sabar dan baik. Dia mengurus banyak hal tanpa pernah mengeluh. Satu-satunya hal yang sering dia keluhkan adalah kecerewetan saya. Namun dia seringkali menyinggung perasaan saya. Saya adalah tulang punggung ekonomi keluarga. Saya sih tidak masalah dengan hal itu. Marilah kita sama-sama berbagi tugas sembari menunggu usahanya maju. Namun tindakannya yang menyinggung perasaan saya seringkali membuat saya muak dan benar-benar tak tahan. Dia tak pernah menghargai apa pun yang telah saya lakukan. Saya telah membanting tulang memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Bagaimanapun juga saya seorang wanita yang ingin merawat diri saya sendiri, ingin jalan-jalan ke mall dengan santai walaupun tak berbelanja, ataupun ingin bermanja-manja dengannya. Namun setelah semua pekerjaan yang telah saya lakukan saya tak pernah mendapatkan hal yang saya dambakan itu. Saya benci tidak bisa menjadi diri saya sendiri. Setiap kali dia meminta maaf maka saya akan memaafkannya. Namun kata-kata maaf itu seakan menjadi kata kunci untuk kesalahannya. Dia terus mengulanginya lagi. Sampai kapan saya tak tahu. Saya jenuh menunggu perubahan yang ia janjikan. Perubahan dirinya maupun perubahan kondisi finansial kami. Saya bosan dengan janji-janjinya! Lebih baik kami berpisah saja!”, demikian semua kalimat itu meluncur deras tanpa bisa dibendung.
”Oke saya mengerti perasaan Anda. Bagaimana dengan anak-anak?” tanya saya. ”Itulah satu hal yang memberatkan saya. Saya tidak ingin anak saya mengalami kejadian yang tak menyenangkan. Saya tak ingin anak-anak saya memiliki orangtua yang bercerai. Tapi saya sudah tak kuat lagi!”, katanya sambil menguraikan air mata.
Beberapa saat setelah ia mulai bisa menenangkan diri maka saya berbicara dengan suaminya. ”Apa yang bisa saya bantu?” tanya saya pada suaminya. ”Ya itulah saya ini bingung. Saya selama ini tidak melakukan hal-hal yang aneh. Saya tidak main perempuan, saya tidak berjudi, saya tidak pernah keluar dengan teman-teman saya, bahkan merokok saja pun saya tidak suka. Sehari-hari saya hanya mengurus anak-anak. Dari mulai memandikan, memberi makan, mengantarnya sekolah, menjemputnya, mengajaknya main, dan menemani belajar. Namun setelah itu semua saya lakukan yang saya dapatkan adalah sikap uring-uringan dari istri tanpa sebab yang jelas. Saya pun tak ingin menjalani kondisi finansial seperti ini. Namun apa mau dikata semua usaha yang saya lakukan belum membuahkan hasil seperti yang kami harapkan”, demikian kata suaminya dengan wajah memelas.
”Menurut Bapak apakah keluhan istri Anda yang mengatakan bahwa ia sering tersinggung dengan sikap Bapak itu benar?”, tanya saya berusaha mengklarifikasi data yang ada. ”Sejujurnya saya terkadang tak pernah merasa menyinggung perasaannya. Tapi jika meminta maaf bisa meredakan hal itu maka saya akan lakukan. Saya harus bagaimana lagi?”,sambungnya dengan nada masih memelas.
”Tapi sikapmu itu memang sering menyinggung perasaanku!”, tiba-tiba istrinya memotong dengan sikap sinis. ”Sebentar Ibu sabar dulu”, demikian saya berusaha menengahi mereka.
”Saya sudah sabar bertahun-tahun tanpa hasil. Sikapnya yang merasa tak bersalah inilah yang sering memicu saya untuk marah! Kondisi keuangan kami sudah memprihatinkan namun ia tak pernah melakukan usaha lebih keras demi kemajuan. Setelah mengantar anak sekolah ia pulang ke rumah dan tidur sampai siang!”, kata istrinya benar-benar seperti air bah yang tak bisa dibendung.
”Lalu saya harus melakukan apa. Semuanya kan tergantung pelanggan saya. Saya tak bisa memaksa mereka untuk melakukan pesanan jika mereka memang tak membutuhkannya, kan?”, kata suaminya berusaha membela diri. ”Baiklah mulai sekarang Anda berdua hanya boleh bicara jika saya tanya, oke?”, kata saya mengambil kendali situasi yang tak menentu tersebut.
Setelah melakukan wawancara dengan keduanya saya pun mulai mendapatkan gambaran tentang apa yang bisa saya lakukan untuk membantu keduanya. Singkat cerita saya membantu mereka sebanyak tiga sesi terapi setelah menemukan akar masalahnya.
Permasalahan mereka sebenarnya adalah muatan emosi masa lalu yang terus dibawa-bawa. Muatan emosi negatif itu terpicu ketika seseorang melakukan hal yang mirip dengan pertama kali muatan emosi itu muncul dari sebuah pemaknaan.
Sang istri mudah sekali merasa tersinggung jika idenya ditolak. Bahkan untuk ide keluar makan malam yang ditolak pun ia bisa merasa tersinggung berat. Ia merasa harga dirinya direndahkan. Ia tahu bahwa marah tak menyelesaikan masalah. Namun setiap kali ia berusaha menahan rasa marahnya maka ia semakin ingin meledak. Dan akhirnya …….. meledak juga!
Hal ini bermula dari kejadian ketika sang istri, yang waktu itu masih seorang anak 5 tahun, disalahkan dan dimarahi oleh kakaknya. Rasa jengkel dan marah itu masih mengganjal dan dibawa terus sampai dewasa. Akibatnya ia mudah sekali merasa tersinggung. Jika dengan orang lain maka ia bisa menahan emosi negatif tersebut. Namun ketika sampai di rumah dan suami atau anak-anak . melakukan satu hal kecil saja yang bisa memicu memori tersebut maka tumpukan emosi negatif yang sudah menggunung tersebut akan langsung meledak tanpa ampun.
Ia tahu bahwa harusnya ia tak boleh seperti itu. Hal itu bisa merugikan perkembangan anak-anaknya. Namun keinginannya untuk berubah tak pernah kunjung kesampaian. Baginya perubahan itu terasa sangat sulit dan memakan waktu cukup lama.
Masalah yang dialami pasangan di atas adalah salah satu dari sekian banyak masalah yang bisa kita jumpai sehari-hari. Banyak sekali pasangan yang datang meminta bantuan saya mengalami hal seperti itu. Muatan emosi negatif yang tak terselesaikan di masa kecil menjadi beban yang terus dibawa sampai di kehidupan dewasa. Efek dari muatan emosi negatif tersebut bisa dirasakan di semua aspek kehidupan – aspek relasi dengan pasangan, relasi dengan anak, kondisi finansial, pekerjaan di kantor, bisnis dan bahkan kesehatan.
Di samping itu ada sebuah kekuatan / daya lain yang tak kalah kuatnya yang menyebabkan perubahan perilaku susah dilakukan. Daya ini adalah ”homeostasis”. Yes, the greatest power in human behaviour is homeostasis. Homeostasis adalah suatu daya yang berusaha mengembalikan kita pada kondisi semula. Jika kita bicara perilaku manusia maka daya ini adalah musuh nomor satu dari perubahan. Setiap orang yang ingin berubah dan setiap terapis yang membantu kliennya untuk berubah harus bisa menghadapi homeostasis.
Ini seperti anda menarik sebuah karet gelang. Ada sebuah daya yang kasat mata yang menahan gerakan anda untuk meregangkan karet gelang tersebut. Itulah perubahan. Setiap kali kita ingin berubah maka kita merasa tak nyaman. Kita ingin kembali ke kondisi semula.
Pernahkah anda menemui seseorang yang mengeluhkan rekan kantornya yang brengsek, sistem manajemen kantor yang tidak bagus dan atasan yang semena-mena? Namun ia tetap bekerja di sana sampai bertahun-tahun kemudian. Ia tak berani keluar dari zona tersebut. Baginya walaupun merasa tak nyaman namun satu hal yang sudah pasti : ketidaknyamanan tersebut sudah bisa diukurnya. Daripada menghadapi resiko ketidaknyamanan yang lebih parah di tempat baru maka lebih baik di tempat lama.
Itulah homeostasis. Daya ini sangat luar biasa. Bekerja di pikiran bawah sadar. Setiap keinginan sadar kita untuk berubah mendapat tantangan yang besar. Bagaimanapun juga ada satu alasan positif yang didapat jika kita tidak berubah. Karena alasan inilah maka homeostasis ada. Hanya saja ini tidak sinkron dengan keinginan sadar kita.
Tantangan setiap terapis adalah membantu kliennya menyinkronkan program pikiran bawah sadar dan pikiran sadar. Jika ini bisa dilakukan maka perubahan adalah hal yang sangat mudah.
Satu hal yang perlu diingat adalah homeostasis ada di setiap level pencapaian kita. Ketika kita keluar dari sebuah habit lama dan masuk ke habit baru maka segera setelah itu kita masuk dalam sebuah zona kenyamanan yang baru. Zona ini menjadi tantangan lagi bagi perbaikan lebih lanjut.
Pada anak-anak homeostasis ini tidak terlalu kuat. Semakin kecil usia seorang anak maka semakin lemahlah daya ini. Daya ini berkembang seiring dengam berkembangnya pikiran kritis seorang anak. Saat pikiran kritis berkembang maka setiap perubahan yang akan terjadi harus melalui inspeksi oleh pikiran kritis. Ini seperti saat kita diminta memasukkan barang bawaan kita ke mesin infra merah bila kita ingin check in di bandar udara.
Saat sesuatu bisa diterima pikiran kritis maka informasi untuk perubahan itu dituntun masuk ke memori jangka panjang dalam pikiran bawah sadar. Jika informasi tak sesuai atau bisa menyakitkan diri kita maka pikiran kritis akan menolaknya dan perubahan tak akan terjadi. Ingatlah bahwa perubahan ke arah yang baik pun memerlukan usaha dan ini bisa dipandang menyakitkan oleh pikiran bawah sadar yang selalu ingin berniat melindungi kita. Oleh karena itu homeostasis ini begitu kuat.
Salah satu cara mudah untuk mengatasinya adalah dengan bertanya pada diri kita sendiri ,”Seandainya ada hal yang lebih baik lagi bisa saya lakukan untuk ……………. (menjadi lebih sabar, menjadi lebih bisa memahami diri sendiri, mengerjakan pekerjaan saya lebih baik atau apapaun) bagaimanakah saya bisa melakukannya?” Pertanyaan ini akan menuntun kita mengalami perubahan kecil-kecil yang tak akan terasa menyakitkan sehingga lama-lama perubahan kecil ini pun akan menjadi besar. Ini adalah sebuah prinsip yang terkenal dengan sebutan kaizen di Jepang. Ya betul hal yang sama dialami oleh banyak perusahaan untuk mengajak para karyawannya berubah. Mengetahui rahasia menaklukkan homestasis akan mengakibatkan unjuk kerja tinggi.
Apakah ada cara lain? Tentu ada. Kita akan membahasnya bersama di artikel berikutnya.
Semoga inspirasi ini bisa mencerahkan para orangtua di seluruh Indonesia. Menurut Anda siapakah di antara rekan, sahabat atau sanak famili tercinta yang patut mendapatkan informasi tentang manfaat sekolahorangtua.com? Kapankah Anda bersedia mereferensikan sekolahorangtua.com pada mereka agar juga dapat memetik manfaat dari artikel-artikel sekolahorangtua.com demi peningkatan dirinya? Terima kasih atas kebaikan hati Anda mau menjadi sambungan tangan saya untuk menyentuh hidup lebih banyak keluarga di Indonesia.
Salam hangat penuh cinta untuk Anda sekeluarga
Ariesandi (www.sekolahorangtua.com)
<p>Halo pak Ariesandi,</p>
<p>Artikel yang sangat menarik. Ya hal seperti ini sering sekali kita jumpai. Saya juga baru tau kalau itu dinamakan homeostasis.</p>
Kepada Yth:
Bapak Ariesandi,
Setelah saya membuka website Bapak dan membaca tentang kehidupan buat keluarga yang hampir bercerai masih dapat di selamatkan, maka saya juga punya masalah yang cukup pelik, bisa kah saya mendapatkan informasi yang lengkap agar saya tidak salah jalan.
Terima kasih.
hallo pak ariesandi, terimakasih untuk tulisannya, luar biasa. ada sedikit tambahan sharing dari saya. perasaan negatif sebenarnya tanggungjawab pemilik perasaan negatif itu sendiri. bila kita tidak memiliki luka pada diri kita maka bila kita tuangkan satu gelas yodium tinctur maka kita tidak akan merasa sakit. namun bila kita memiliki luka kecil saja pada diri kita maka setetes yodium tinctur cukup untuk menimbulkan rasa sakit pada diri kita. selain daripada seorang sudi yang bernama anthony de mello pernah memberi nasehat yang sangat baik yaitu “jangan pernah berusaha merubah diri orang lain, bila kita tidak bersedia merubah diri sendiri dulu”. terimakasih.
halo pak Ariesandi, terima kasih tulisannya sangat bagus sekali…………kadang emosi kita memang terbawa dari masa lalu tnpa kita menyadarinya….
jalan hidup saya juga seperti cerita diatas, hanya berbeda sedikit saja. Bagaimana supaya kita bisa kembali ke masa lalu, dan mereprogram emosi. bagaimana mdptkan dvdnya atau konsultasi dgn bapak. thanks atas websitenya…………
anton
yth.
Bpk Ariesandi,
saya dengan suami mengalami permasalahan yang cukup pelik. sebenarnya saya sudah ingin bercerai, tapi mendengar perkataan anak2 saya, membuat saya tidak tega. suami dari keluarga yang broken home, sehingga mengalami emosi yang tdk stabil. bagaimana saya bisa konsultasi dengan Bpk, karena saya tinggal di Jakarta. thanks.
Sally
Yth Bpk Ariesandi,
saya pribadi sangat senang dengan artikel2 yg Bpk berikan.
memang benar kenapa kita sering melimpahkan kemarahan dengan anggota keluarga dengan sangat kasarnya tapi dengan orang lain sama sekali tidak pernah.
saat ini keluarga kami juga mengalami hal pelik seperti diatas tapi gak terbersit untuk berpisah karena saling cintanya kuat (semoga selalu). tapi bagaimana cara mengatasi masalah demikian.
kami sangat ingin dapat berkonsultasi dengan Bpk, bagaimana sih caranya kita bisa bertemu? atau ada dvdnya tentu sangat membantu
trima kasih
claudia