“Anak Anda hiperaktif ya ?” Bisik seorang dokter spesialis kulit kepada saya dan suami saya.
Kaget juga ketika ditanya seperti itu oleh seorang pihak yang kami percaya untuk mengobati kulit anak kami, Kaizen, yang terkena gigitan serangga.
Hampir 2 tahun, kami membesarkan Kaizen dan tidak sedikitpun kami melihat adanya gejala hiperaktif dalam diri Kaizen. Padahal saya seorang psikolog yang bergerak di dunia anak-anak dan hidup didalamnya. Minat saya dan niat saya adalah ingin membantu orangtua mendidik anak-anak mereka dengan lebih baik lagi. Eee… ada seorang dokter spesialis kulit yang dengan seenaknya sendiri menilai dan melabel anak saya tercinta, hanya dari pertemuan sekali seumur hidup, cuman 5 menit saja.
Saat itu Kaizen masih berusia 1 tahun 6 bulan. Masa dimana anak-anak ingin memegang segala sesuatu, ingin menaiki segala sesuatu dan ingin semuanya. Pokoknya semua hal adalah baru baginya sehingga menarik untuk dipegang, dilihat dan dinaiki.
“Bukan dok, AKTIF bukan hiperaktif.” Demikian jawaban saya sambil sedikit menahan dongkol. Untung saja, dokter itu tidak menanyakan lebih lanjut. Jika iya… mungkin bisa saya kuliahi beliaunya dari A hingga Z tentang anak Hiperaktif.
Namun… dari pertemuan singkat itu, membuat saya merenung kembali tentang kejadian yang menimpa saya.
Bagaimana jika pasangan yang ditanya itu bukan kami ?
Bagaimana jika anak yang dilabel seperti itu bukan Kaizen melainkan anak orang yang lain yang kebetulan memiliki karakteristik aktif seperti Kaizen kemudian di label Hiperaktif oleh dokter spesialis kulit itu ?
Saya bisa membayangkan orangtua itu pasti akan merasa ada yang salah dengan anaknya. Kemudian segera memeriksakan anaknya kepada pihak-pihak yang dianggap berkompeten. Ketika hasilnya mengatakan bahwa anaknya normal. Orangtua merasa tidak percaya,”Bagaimana bisa normal ? Ini dokter yang mengatakan kalau ada sesuatu yang aneh dengan anak saya. Dokter spesialis lagi. Anak saya ini tidak bisa diam, pegang sana pegang sini. Kalau diajak ngomong tidak mau liat kearah saya. Diam hanya kalau tidur saja. Kalau sudah bangun tidur, rumah sudah dapat dipastikan berantakan kaya kapal pecah. PERIKSA ULANG ! apa saya perlu bawa ke psikiater atau psikolog lain ?”.
Ada pengalaman yang terjadi dengan teman saya yang menikah dengan orang asing dan tinggal disana, ikut suami. Anak pertamanya baru berbicara dengan lancar ketika usianya menjelang 3 tahun.
Apakah ini normal ? Yup… anak ini masih tergolong normal karena sehari-hari ia menggunakan bahasa indonesia dengan ibunya sedangkan jika dengan ayahnya ia menggunakan bahasa mandarin. Saya berani mengatakan anak ini normal karena ia tanggap ketika diminta melakukan sesuatu tapi ia kesulitan untuk mengekspresikan bahasanya. Keadaan ini berarti si anak masih berproses mencerna kata-kata yang ada dikepalanya, antara bahasa indonesia atau bahasa mandarin. Ketika kognitifnya telah mampu mencerna, terbukalah lidah dan bibir si anak, banyak kata yang keluar dari bibir mungilnya.
Ada lagi kasus tentang anak usia 2 tahun 4 bulan yang sulit makan, jam tidur yang terbalik antara pagi dan malam, yang jika diajak berbicara tidak mau menatap mata lawan bicaranya, ketika diminta melakukan sesuatu tidak mau tapi ketika tidak diminta, anak ini bisa melakukan dengan benar. Pengasuh barunya sudah merasa ada yang tidak beres dengan anak asuhnya ini dan sudah bingung bagaimana cara membuat anak ini bisa berperilaku normal seperti anak kebanyakan. Tentu saja niat baik pengasuh tidak tepat sasaran karena anak ini sebenarnya adalah anak normal yang berada dalam pengasuhan orangtua yang kurang perhatian. Ayah ibunya sibuk bekerja, sehari-hari ia lebih sering bersama neneknya. Permainannya yang tersering dimainkan adalah playstation. Kondisi keluarga si anak inilah yang menyebabkan anak ini menjadi sedikit terlambat dalam beberapa aspek perkembangannya.
Orangtua yang baik, terkadang kita ini terlalu mendengarkan orang lain ketimbang anak sendiri. Terkadang pula kita ini tidak mempercayai kemampuan anak kita dan buru-buru menilai anak kita memiliki kekurangan dan bermasalah. Bahkan jika yang melabel anak kita adalah seorang psikolog ataupun psikiater pun, anda harus bersikap tidak percaya dan mencari bukti kebenaran dari label mereka.
Bagaimana caranya ? BELAJAR !
Cari tahu tentang perilaku dan ciri anak yang dianggap berkebutuhan khusus. Observasi langsung anak yang memang benar-benar memiliki kebutuhan khusus. Belajar juga ciri anak normal pada umumnya. Terkadang anak normal pun bisa terlihat mirip dengan anak berkebutuhan khusus.
Jika anda telah memiliki cukup bukti barulah anda bisa mengambil keputusan hendak diasuh dan dididik seperti apa anak kita sesuai dengan kebutuhannya.
Terakhir ! Refleksikan diri anda. Apakah kita telah menjadi orangtua yang baik bagi anak kita ?
Fenomena banyaknya anak yang dilabel berkebutuhan khusus mulai meningkat akhir-akhir ini. Ada kemungkinan peningkatan ini bukan disebabkan memang banyak anak lahir dengan kebutuhan khusus melainkan banyak orangtua yang terlalu sibuk untuk bekerja dan sibuk dengan dirinya sendiri. Akibatnya, orangtua lupa untuk belajar mengenai perkembangan anak sesuai usianya dan memantaunya.
Kurangnya pengetahuan ini mengakibatkan orangtua tidak tahu apa yang bisa dilakukan oleh anak usia tertentu tapi mereka menuntut anak-anak mereka mampu berperilaku baik, sopan dan penurut.
Baik, sopan dan penurut, bukanlah perilaku ajaib yang bisa terjadi dalam sekejap mata. Perilaku ini harus dilatih dan dikembangkan. Ada masanya untuk usia berapa kita sudah mulai bisa mengajarkannya.
Perilaku “nakal” yang ditampilkan oleh anak seringkali merupakan akibat dari perilaku kita sendiri. misal anak usia 2 tahun, tidak mau mendengarkan nasihat dari kita, suka melanggar hal-hal yang kita larang untuk dipegang.
Coba cek ! apakah anda terlalu sering melarang anak kita untuk memegang hal-hal yang sedikit kotor ? Apakah Anda terlalu sering melarang anak untuk tidak naik-naik kursi/meja/jendela ? Apakah Anda terlalu sering untuk meminta anak cuci tangan karena telah memegang tanah ?
Terlalu seringnya anak usia 1-2 tahun dilarang ini dan itu, bisa menyebabkan anak mengembangkan perilaku membangkang, yang pada akhirnya akan menjadi karakter bandel.
Masa 1-2 tahun adalah masa eksplorasi bagi anak. Jadi merupakan hal yang wajar jika semua hal adalah baru dan menarik bagi dirinya karena dia memang baru saja melepaskan diri dari sangkarnya. Dari semula yang tidak bisa berjalan kemudian bisa berjalan bebas tanpa harus dipegangi lagi.
Simpanlah kata larangan Anda hanya untuk hal-hal yang berbahaya dan untuk hal-hal yang memang belum waktunya disentuh. Jika Anda melakukan ini, niscaya anak akan mendengarkan ketika kita melarang untuk memegang sesuatu.
Jika kita menerapkan ini maka kita telah menangkal salah satu hukum pikiran manusia (yang aneh) yaitu “Semakin Dilarang Semakin Menarik”.
Jadi apa yang harus kita lakukan dengan penilaian orang lain yang belum tentu benar dan terkadang ngawur itu ?
Kita tidak bisa menghindari penilaian orang karena penilaian itu adalah hak setiap orang. Yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana sikap kita dalam menanggapi penilaian mereka yang menurut kita kurang tepat. Kitalah yang paling mengenal diri anak kita bukan orang lain. Kita lah yang paling lama bersama anak kita, jadi jangan biarkan penilaian orang lain membuat kita ragu-ragu terhadap anak kita. Keraguan kita akan sangat jelas terbaca oleh anak kita melalui perilaku kita. Keraguan kita akan berakibat anak pun akan meragukan dirinya sendiri.
Kita sendiripun sering ragu terhadap diri kita sendiri, mungkin saja hal ini diakibatkan diri kita terlalu sering diragukan oleh orangtua kita sendiri pada masa lampau.
Anak-anak itu memiliki perkembangan yang sangat pesat baik fisik maupun psikis. Label yang diberikan secara sembarangan bisa membuat anak kita berhenti berkembang. Apalagi jika label itu menyangkut psikisnya.
Tahukah Anda bahwa perkembangan yang optimal itu ditopang oleh pondasi psikis yang baik ?
Tubuh memang boleh cacat tapi pikiran harus tetap prima.
Pikiran yang prima akan memudahkan kita untuk menangani setiap tantangan kehidupan yang ada.
Salam hangat penuh cinta untuk Anda Sekeluarga
Sandra Mungliandi
saya pernah mengalaminya..
anak saya dibilang autis oleh panitia perpisahan sekolah (orang tua murid)
sedih… marah… bercampur aduk…
apakah hanya karena perbedaan cara pola asuh anak, maka orang lain yang baru kali itu beriteraksi dengan anak kami dengan seenaknya menyebut anak kami autis…
Saya sedih baca tulisan ini, karena saya sendiri sudah mencap anak saya sebagai anak nakal, susah diatur. Bahkan saya sendiri sedang mencari Psikolog/Psikiater untuk mengatasi anak saya.
Bimo, anak ke-2 saya, usia 10 tahun, terlahir dengan kelainan jantung bawaan. Sewaktu bayi, sangat kami sayang dan semua permintaan dia hampir selalu kami penuhi. Mungkin karena itu, sekarang kami merasakan akibatnya. Setiap permintaan dia yang tidak kami penuhi, dia akan marah sekali, dan pasti akan menyakiti orang di sekitarnya (orang tua, kakak dan pembantu) juga akan merusak barang. Tidak jarang, saya sebagai orang tua memukul dia karena sudah tidak tahan dengan ‘amukan’nya di rumah.
Terkadang saya hopeless dengan tingkah Bimo, tetapi setiap lihat dia tidur, saya sering menangis. Merasa tidak berhasil menjadi orang tua yang baik.
Saya sadar, saya sebagai orang tua sudah sangat salah dengan menilai anak saya seperti itu dan juga sadar bahwa setiap perkataan negatif yang keluar dari mulut saya adalah doa.
Oleh karena itu, saya mohon bantuan dari pembaca, apa yang harus saya lakukan. Saya ingin agar saya bisa menahan emosi pada saat Bimo marah dan juga saya ingin agar Bimo bisa berubah (tidak menyakiti orang di sekitar dan tidak merusak barang pada saat marah).
Terima kasih.
Ibu Jenny,
Pertanyaan ibu, saya sharekan kepada teman-teman di Facebook. Harapan saya akan banyak teman-teman orangtua yang juga akan mensharekan pengalaman serupa yang dialami oleh ibu.
Selamat belajar ibu.
Saya sedih baca artikel ini….saya baru mengandung 4,5 bulan…dan kehamilan saya memang cukup menantang karena saya sering “KO”…. setiap kali saya “KO” banyak keluarga dan teman-teman mengatakan kalau calon anak saya NAKAL karena membuat mamanya “KO”…spontan saya tidak menyukai komentar itu…belum lahir koq sdh di cap nakal….bagaimana sich….
Banyak sekali orang yang tidak paham bahwa labeling yang mereka berikan itu dapat berdampak negatif….
Bener adanya…..artikel ini.
Berapa kali kita mengatakan jangan dalam sehari?
Nak…mamah mau kerja, dirumah nurut ya sama bibi, jangan nakal ya.
Awas jangan pegang-pegang keramik nanti pecah!!!
Awas lho dijalan rame jangan ngebut-ngebut!
Awas jangan nyalain kompor gas lho…nanti meledak!!!
Rasanya waktu saya bersama anak-anak kata-kata larangan……hampir terucap setiap hari.
Coba…apa jawaban anak saya waktu itu……
Apa-apa gak boleh, apa-apa jangan……terus bolehnya apa mah…??
Saya baru sadar……setelah saya sering baca-baca artikel…Pak Arisandi & ibu sandra, ternyata saya banyak banget kekurangannya dalam mendidik anak-anak saya.
Yang tadinya sy cerewet melarang-larang anak, lamban laun saya ganti dengan kata-kata positif, hasilnya…..sungguh luar biasa.
Apalagi setelah saya terapkan dh metode hypnoparentingnya….pak ariesandi, banyak perbuhan positif dr anak-anak saya….yg sekarang sudah kelas 1 smp dan kelas 5 sd. Trims bu Sandra dan pak aries
Di skul saya merangkap guru BP/BK. Sering wali murid bilang ke saya: “Anak saya jahat ya Bu…?”
“Anak Ibu tidak jahat, cuma terkadang sulit diberi pengertian”. begitu jawaban saya..
Dan si Wali murid biasanya langsung tersipu malu… he he he…
Membaca kasus di atas, yang pernah saya ketahui salah satu tanda anak hiperaktif adalah anak tsb tidak mau melihat mata orang yang dihadapannya, ia akan segera menoleh ketempat lain bila ada orang menatap matanya, memang beda anak aktif dan hiperaktif.
Bila anak aktif, anak itu cenderung mau bertatap mata bila diajak berkomunikasi.
Dalam hal bertemu dengan anak bukan berapa lama kita bersama anak tetapi yang paling penting apakah kehadiran kita meninggalkan jejak dihatinya.
dari apa yang pernah ana dapatkan dan alami, hati-hati anak kita akan bisa menjadi apa yang kita katakan pada dia, berikanlah kata kata yang positif sehingga kita selalu memberikan kekuatan positif pada anak-anak kita yang merupakan harapan kita masa yang akan datang…. salam parenting
terima kasih untuk artikelnya yang sangat menarik. label positif sangat penting untuk perkembangan buat hati kita.saya punya pengalaman pribadi, sewaktu mengandung Audy (sekarang 3 thn), saya adalah seorang sales di perusahaan telekomunikasi yang menuntut bekerja secara mobile. Saya mengalami kehamilan yang menyenangkan dan kuat. Setiap pagi, sebelum memulai aktifitas,saya selalu menyempatkan berbicara dengan janin yang ada di perut,”hari ini ikut Mama kerja lagi ya, semoga adek baik2 saja dan kuat ya.” Begitu terus setiap pagi dan sampai lahir dengan selamat.Setelah Audy berumur 5 bulan, saya wiraswasta sendiri sehingga bisa mengajak Audy ke toko setiap hari, dan yang menyenangkan, Audy kecil sangat kooperatif, mandiri, kuat dan pengertian. Kerabat dan teman2 juga berpendapat demikian. Saya dan suami sepakat, bahwa cara berpikir kita terhadap anak sejak dalam kandungan, akan berpengaruh besar pada perkembangan psikisnya ketika dia lahir. Nama Audy-pun diambil dari bahasa Jerman yang artinya kuat. Ada yang bilang, “apa nggak ribet tuh bawa anak kerja dan jalan kemana2?” Saya jawab, “kalo kita pikir ribet, akan jadi ribet. Dibawa seneng aja….anak juga ikut merasa senang kalo orang tuanya merasa senang mengajak dia.kan berarti punya lebih banyak waktu bersama.” Saya yakin, anak-anak akan ikut merasakan apa yang dirasakan orang tua terhadap diri mereka. terimakasih
Bu Sofie,
Terima kasih sharingnya, sangat bermanfaat bagi orangtua lainnya.
Cerita ibu, saya sharekan kepada teman-teman FB SO ya, supaya semakin banyak orangtua yang terinspirasi dengan cerita ibu.
melabel anak sama dengan brain wasing otak anak tsbt.shingga bisa kebawa sampai mereka dewasa.bisa bisa anak tsbt percaya apa yng dikatakan orang lain tentang dirinya.sangat berbahaya.
kunjung….
saya mau tanya mbak, kalau kita bilang adek kok nakal sama abng, apakah itu bentuk pelabelan juga?tq atas penjelasannya
Halo Ibu Nismawarni,
Daripada mengatakan anak nakal, akan lebih baik jika kita menegur langsung perilaku apa yang tidak kita setujui. Bukan mengatakan “adik nakal” tapi katakan “Dik, mama tidak suka adik mengambil penghapus kakak tanpa ijin” atau “Dik, mama sedih melihat adik memukul kakak terus. Kakak sakit kalau dipukul seperti itu.”.
Jika kita hanya menyebutkan nakal, anak tidak akan belajar sesuatu dari sana. Penggunaan nakal juga hanya menggeneralisasi perilaku yang tidak disukai dan pada akhirnya bisa menjadi bagian dari konsep diri si anak.
Semoga membantu
bu, kenapaya anak saya 9 th (sdh sd kelas 4) hingga sekarang ini, sy sdh berusaha sering memberitahukan/menasihati, menceritakan yg sebaiknya bgm mis: spy jgn suka menunda-nunda tugas sekolah, berlatih rapih, rajin,tanggung jawab, dst (termasuk memberikan contoh bahkan contoh yg nyata dpt dilihat langsung), tetap saja kurang diperhatikan / didengar / tidak dilakukan. sehingga karena seringnya diberitahu sampai-sampai setiap memberitahukannya seperti sedang memarah-marahi. sy takut si anak sering mendengar nasihat/cara memberitahukan seperti sedang marah-marah menjadikan anak bahwa hal tsb menjadi sdh biasa + sianak jg berpendapat ortu sukanya marah-marah saja , ortu tidak peduli/tidak sayang kpd saya (anak). terima kasih.
bgm supaya sianak dpt mengerti dan mau melakukan yg kami nasihati/beritahukan.
Bapak Suharto,
Sebelum kita mendisiplinkan anak, perhatikan dulu tangki cinta anak.
Disiplin tanpa cinta akan sama seperti mesin tanpa oli. Perasaan dicintai merupakan pelicin agar anak mau mengikuti disiplin yang kita terapkan.
Silahkan bapak membaca tentang tangki cinta di artikel dalam web ini.
Selamat mencoba bapak.
saya setuju dengan melabel anak yang negatif akan membuat anak menjadi seperti label yang diucapkan, hanya yang menjadi masalah di indonesia masih banyak orang beranggapan kalau melabel anak yang positif malah membuat anak itu sakit-sakitan, parahnya keluarga saya dan keluarga suami (pembantu pun ikut-ikutan) juga menerapkan hal ini. Hingga saat ini suami dilabeli anak malas sama orangtuanya (padahal suami seorang pekerja keras dan disegani rekan2 kantornya) dan saya dilabeli tidak pakai otak oleh ibu saya (hanya karena membiarkan kedua anak laki-laki saya yang masih balita bereksplorasi seperti bermain pasir sampai baju kotor atau berenang agak lama).
Ini sulit untuk dihindari dan diberi penjelasan karena sudah menjadi budaya kebanyakan orang indonesia, apalagi jika anak mau masuk sekolah harus melewati masa orientasi/opspek yang harus berhadapan dengan senior-senior yang pasti ada yang bermulut pedas bahkan menggunakan fisik untuk meruntuhkan mental.
Bu mohon sekiranya bs bantu sy utk jawab, anak sy umur 18bulan, persis spt cerita ibu, anak tdk bs diam, suka pegang ini itu, hanya tidur sj klo diam, dipangku jg tdk bs lama paling hanya semenit sj, klo dimobil gk bs diam jg, kdg sampe mengganggu konsentrasi sy menyetir, tp interaksi anak sy bagus, tdk pernah emosi berlebihan, suka mencium sy dan istri, karakternya bagus.
Apakah anak sy aktif atau hiper ya bu?
Ini kan posting lama, klo skrg anak ibu pasti sdh besar, apakah dia masih aktif juga? Mohon maaf sebelumnya, terima kasih..