Salam kenal untuk para Ayah dan Bunda…
Sebetulnya cerita ini pernah saya upload di FB, sebagai note saya. Mengapa? Agar saya selalu ingat bahwa saya pernah punya pengalaman ini dengan putra tunggal saya. Sebagai catatan pribadilah… Ketika Sekolah Orangtua memberi kesempatan kepada kita para orangtua untuk sharing pengalaman kita dengan putra/i kita, maka saya bagi disini melalui Sekolah Orangtua…
Kenali Dirimu, Sayang…
Sudah sejak awal Abi masuk SD, aku memutuskan untuk tidak membebaninya dengan target jadi juara di kelas. Alhamdulillah, selama 3 tahun (kelas 1 sampai kelas 3) tidak pernah ada masalah mengenai itu. Nilai -2nya cukup memuaskan.
Tapi, rupanya waktu berkata lain. Di awal kelas 4, nilai-2nya turun dengan drastis. Aku capek. Pelajarannya susah. Kebetulan gurunya juga punya aturan yg berbeda dibanding guru-2 sebelumnya. Gurunya yg sekarang memutuskan, ulangan baru diberikan ke orangtua setelah 3 bulan. Itulah awalnya…
Kami punya kebiasaan, setiap kali hasil ulangan diberikan guru, Abi menyerahkannya padaku. Lalu sama-2 kami melihat dimana yg salah, dimana yg kurang, nah di situlah ia membuat perbaikan pada buku belajarnya di rumah. Ulangan yang diberikan setelah 3 bulan berlalu, jelas membuatku lambat mengetahui dimana kekurangan Abi dalam memahami materi pelajarannya. Bayangkan, nilai yg biasanya menari-2 di angka 8 atau 9, merosot sampai ke bawah 5…!!!
Mau marah, percuma.. semua sudah berlalu. Tapi wajah kecewa, tidak kusembunyikan dari pandangannya. Membuang segala ego, aku ajak ia duduk bersama. Berdua kami membicarakannya.
“Ibu kecewa nih, Mas. Koq nilai-2nya seperti ini. Aku minta maaf. Kamu tau bagaimana pendapat Ibu tentang hal ini. Nilai di bawah 5 berarti kamu tidak belajar.” Berusaha berkelit, ia menjawab: “Ibu jangan hanya melihat ke atas, ke anak-2 yg nilainya lebih bagus. Lihat juga ke bawah, ke anak-2 yang mendapat nilai rendah. Aku masih mending, Bu. Ada temen yg dapat 1,5. Malah ada yg 0,5…”
Kutatap wajahnya.. Gak percaya kalimat tadi meluncur dari mulutnya.
“Kenapa mereka bisa dapet nilai segitu?”. Tanyaku
“Karena mereka suka ngobrol pas lagi belajar. Males juga anaknya…”, Jawabnya.
“Dan kamu merasa, Ibu akan bangga kamu membandingkan dirimu dgn The free-credits-report.com is specifically limited to those expenses incurred in the first four years of college. mereka?“. Tangkisku. Sudah akan menjawab, tapi ditahannya dalam mulut. Melihat wajahku yang mulai mengeras, dia merasa lebih aman bila diam.
“Selama ini Ibu gak pernah menuntutmu ada di atas panggung juara. Yg Ibu minta agar kamu dapat berdiri di atas tanah. Dengan gagah, tegak dada sebagai anak laki-2. Sekali-2 kamu dapat nilai 6, Ibu hanya pikir kamu sedang berjalan terlalu ke pinggir. Jadi Ibu ingatkan, hati-2 Mas. Belajar yg lebih baik lagi.”
“Sekarang, kamu sedang terperosok ke dalam lubang. Ayo, Ibu akan bantu kamu keluar dari lubang itu. Tapi kamu juga harus bantu diri kamu keluar dari sana. Jangan keenakan tidur di situ. Oke? Kalau kamu tidak setuju dengan cara ini, bilang dari sekarang. Jangan sampai Ibu lelah sendiri menarikmu, padahal kamu merasa nyaman di berkubang di dalamnya.”.
Dan mulailah, ia menjalani hari-2 dimana ia berusaha keluar dari lubangnya. 30 menit berlatih matematika, 30 menit berlatih memperbaiki tulisannya (salah satu penyebab nilainya mendapat jelek, karena tulisannya sulit dibaca). Ia kusuruh menulis tentang apa saja. IPA, IPS, peribahasa, cerita di majalah, buku, apa aja yg dia suka.
Proses yg lambat dan panjang. Adakalanya ia bosan. Di hadapannya terletak buku matematika, buku menulis, buku cerita, lego, tapi matanya menghadap ke layar televisi. Kalau lagi kendor seperti itu, aku biarkan dulu selama 1 hari. Esoknya kuajak tukar pikiran lagi.
“Ada anak yg diberi kelebihan oleh Tuhan, berupa otak yg pandai dimana ia mampu memikirkan segala macam hal di waktu yang bersamaan dan semuanya berhasil dengan baik dengan prestasi belajar yang juga baik.
Ada juga anak yg diberi kelebihan lain oleh Tuhan, berupa ketekunan. Dimana ia hanya mampu melakukan satu hal saja di satu waktu, tapi bila melakukannya dengan tekun ia akan berhasil dengan baik. Anak-2 yg seperti ini mungkin terlihat lambat karena ia menyelesaikan pekerjaannya satu per satu. Tapi hasil terakhir biasanya jauh lebih baik.
Luar biasanya, orang-2 yang berhasil adalah orang yang tekun dan sabar dalam menjalani pekerjaannya. Kenali dirimu, Sayang… Mas Abi termasuk dalam kelompok mana dengan kelebihan yang Tuhan kasih.”
Gaya belajarnya, langsung berubah. Ia mulai belajar memahami dan mengenali dirinya sendiri. Gaya belajarnya pun ia sesuaikan sendiri. Selama tidak aneh-2, aku tidak banyak berkomentar. Tugas seorang Ibu adalah seperti pemain layangan. Tetap memegang tali. Mengatur ke arah mana layangan akan diarahkan. Sesekali membiarkan layangan kendor untuk mencari ruang geraknya sendiri. Kalau telah melenceng terlalu jauh, kembali menarik tali agar layangan kembali dalam arah yang diinginkan.
Suatu kali, Abi mengeluarkan setumpuk kertas ulangan dari dalam tasnya. Ibu, lihat…! Anak Ibu udah mulai berdiri lagi di atas tanah. Nilai 7 dan 8 tertera di kelima lembar kertas tersebut. Aku rengkuh kepalanya dalam pelukan…
Terima kasih, Sekolah Orangtua….
Best wishes,
Vitri Wibisono
Menjaga komitmen untuk tetap sabar dalam mendidik, sangat diperlukan ya…salut sama perjuangannya. Anak saya masih TK B dan Play grup, dan itu saja kadang2 susah diatur…perlu banyak belajar menahan diri dari rasa marah nih…
Terima kasih sharingnya ya